Satuan Kerja (Satker) dan Badan Layanan Umum (BLU)
Satuan Kerja atau lebih dikenal dengan sebutan Satker merupakan instansi yang menjadi cikal bakal munculnya Badan layanan Umum (BLU) dengan syarat-syarat yang berlaku. Satker merupakan unit kerja yang dibentuk pemerintah sebagai upaya memberikan layanan bagi masyarakat dan memperoleh pendanaan dari pemerintah. Dalam melaksanakan fungsinya, satker dapat hanya menggunakan dana yang berasal dari pemerintah maupun melakukan pungutan kepada masyarakat atas barang/jasa yang telah diberikan, dengan catatan adanya aturan tarif. Secara berkala satker diwajibkan membuat laporan realisasi anggaran untuk dapat dinilai kinerjanya berdasarkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitasnya. Demi mencapai ketiga indikator penialian kinerja tersebut, pemerintah melalui UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara melakukan perubahan kebijakan penganggaran dari tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja.
Perubahan metode pengelolaan keuangan tradisional (non profit/asal anggaran dari pemerintah habis) oleh satker, menjadi penganggaran berbasis kinerja (not for profit/melakukan praktik bisnis yang sehat) memunculkan istilah enterprising the government atau mewirausahakan instansi pemerintah. Disebut demikian karena dengan basis kinerja, instansi pemerintah dapat lebih produktif dari segi kinerja serta diharapkan mampu memenuhi segala kebutuhan materialnya secara mandiri. Hal ini dapat terjadi jika satker, yang kemudian bertransformasi menjadi BLU mampu melaksanakan praktik bisnis yang sehat, atau dengan kata lain tidak mengalami kerugian dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya.
Melalui pernyataan tersebut, secara tersirat disebutkan bahwa satker yang dapat menjadi BLU hanya satker yang memiliki penghasilan atau dikenal sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Secara lebih jelas, disyaratkan bahwa untuk menjadi BLU satker harus memiliki PNBP minimal 15 miliar/tahun kecuali satker tersebut mendapat rekomendasi dari instansi di atasnya (kementrian/dinas yang membawahi). Syarat lain untuk menjadi BLU adalah kesanggupan meningkatkan kinerja dan layanan yang menjadi tugas pokok instansi tersebut. Bahkan apabila dikemudian hari ditemukan BLU yang kinerjanya buruk, status BLU dapat dicabut dan kembali menjadi satker biasa.
Badan Layanan Umum (BLU) dapat berstatus sebagai instansi pusat maupun daerah sesuai dengan kepemilikan satker yang bersangkutan. Satker yang status kepemilikannya berada di pemerintah daerah disebut dengan Badan layanan Umum Daerah (BLUD), sedangkan satker yang status kepemilikannya berasal dari pusat disebut Badan layanan Umum (BLU). BLUD mendapat alokasi dana dari APBN dan APBD, sementara BLU hanya mendapat alokasi dana dari APBN.
Terkait dengan pengelolaan dana dan praktik bisnis yang sehat, idealnya BLU mampu berkembang lebih cepat jika dibandingkan dengan instansi swasta karena BLU menerima suntikan modal secara berkala dari pemerintah (APBN/APBD). Sayangnya dalam praktik di lapangan BLU justru sulit berkembang karena berbagai faktor yang memengaruhinya. Untuk mengatasi masalah tersebut, BLU dapat menggunakan aplikasi PPK BLU dalam penyusunan laporannya. Dengan demikian kinerja BLU dapat dipantau dari sisi bisnis kemudian dapat diambil tindakan untuk perkembangannya.
Dilihat dari sisi lain, BLU adalah tetap sebagai instansi yang berada di bawah pemerintah dan wajib membuat laporan pertanggungjawaban atas realisasi anggaran yang ditujukan kepada instansi yang membawahi. Dengan demikian BLU wajib membuat 2 jenis laporan keuangan yaitu berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang tentunya memiliki banyak perbedaan dalam hal peruntukan akun-akun yang digunakan. Hal inilah yang menjadikan BLU dapat dikatakan sebagai instansi yang hidup di dua alam, karena selain sebagai instansi yang bertugas untuk memberikan layanan kepada masyarakat secara optimal, juga harus melakukan praktik bisnis yang sehat.